Kategori
Bahasa Indonesia

Aku dan Kucing Jalanan – Bagian 1

Mungkin semua orang bertanya hubungannya Devin dan Catrescue.id. Jawabannya adalah kucing.

Semuanya diawali ketika masih kecil saya punya seekor kucing namanya Puski. Dia mati diracun. Saya ingat melihat mayatnya di garasi rumah tetangga. Semenjak itu tidak ada lagi kucing peliharaan, hingga ketika saya kuliah seekor kucing liar yang hamil melahirkan di rumah.

Saya dan keluarga belum paham bagaimana menjadi tuan rumah yang baik buat kucing-kucing jalanan. Kami membuang kucing, tidak memberinya vaksin dan tidak mensteril atau mengebiri mereka. Kami pun hanya memberi mereka makanan kucing kering yang murah atau nasi campur ikan, padahal nasi tidak baik untuk kucing. Kami pun belajar makanan kucing kering murah jika diberikan dalam jangka panjang akan menyebabkan kucing terkena batu ginjal yang bisa menyebabkan kematian.

Kami membuang kucing, tidak memberinya vaksin dan tidak mensteril atau mengebiri mereka.

Pada tahun 2014 saya mulai membawa makanan kucing kering di dalam tas karena saya sering melihat kucing kurus di jalan dan merasa kasihan tetapi tidak punya makanan untuk diberikan. Tidak hanya makanan, saya pun mulai memberikan air minum untuk kucing-kucing jalanan yang saya temui.

Karena hari Sabtu, Minggu dan hari libur saya tidak melewati lokasi di mana kucing-kucing yang saya beri makan berada, maka saya mulai mengajak orang-orang di media sosial dan grup penyayang kucing untuk memberikan makan kucing-kucing di jalanan khususnya di lokasi yang saya lewati. Saya pun belajar, bahwa memberikan detil lokasi secara terbuka di media sosial memiliki dampak negatif. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab akan membuang kucing-kucing yang mereka temui di lokasi tersebut karena menganggap akan ada orang yang memberi mereka makan.

Saya pun belajar, bahwa memberikan detil lokasi secara terbuka di media sosial memiliki dampak negatif.

Akhirnya saya pun mulai mencari teman yang mau bergotong royong untuk mensteril atau mengebiri kucing-kucing jalanan. Dari media sosial saya bertemu Mbak Nov dan saya juga bertemu Mbak Di langsung di lokasi anak-anak yang saya beri makan. Di tahun 2016 kami mulai melakukan TNR (trap neuter return), yaitu menangkap, lalu mensteril atau mengebiri dan kemudian dilepasliarkan kembali. Dalam setahun kami dapat melakukan TNR sebanyak 2-3 kali. Kami menangkap kucing-kucing tersebut bertiga. Mbak Nov adalah yang paling banyak berkontribusi dengan meminjam keranjang rio, menjemput mereka, menginapkan mereka, membawa ke tempat steril dan melepas liarkan kembali. Sementara saya dan Mbak Di, hanya dapat berkontribusi ketika menangkap dan melepas liarkan kembali, serta berkontribusi sebagian biayanya.

Di lokasi TNR pertama ada seekor ibu kucing dan anaknya yang kehilangan salah satu bola matanya. Awalnya saya hanya ingin mengebiri si anak dan sekaligus menjahit matanya yang terbuka, dan kemudian melepasliarkannya kembali. Tetapi jahitannya tidak bisa tertutup karena digaruk, walaupun setelah tiga kali dijahit ulang dengan berbagai benang. Akhirnya kucing yang diberi nama Kilang, saya adopsi. Sedangkan ibunya, Neng, disteril dan diadopsi oleh Mbak Nov.

Di tahun 2016 kami mulai melakukan TNR (trap neuter return), yaitu menangkap, lalu mensteril atau mengebiri dan kemudian dilepasliarkan kembali.

Pelan-pelan kami juga melakukan TNR di lokasi kedua. Kami juga pernah bekerja sama dengan Mas Adit untuk rawat inap pascasteril. Tetapi Mas Adit harus pindah ke kota lain dan akhirnya Mbak Nov sendiri yang melakukan rawat inap di rumahnya. Kami juga mendapat bantuan donasi dari Mbak Bey dan Mbak Win.

Tantangan terasa ketika saya mulai bekerja dari rumah, Mbak Nov pindah kantor dan Mbak Di tidak lagi melewati lokasi pertama. Padahal masih banyak kucing-kucing yang belum disteril. Tantangan tersebut berupa waktu, tenaga dan tempat rawat inap (juga biaya). Saya dan Mbak Di hampir tidak pernah sekali pun melewati lokasi pertama untuk memberi makan sekaligus memantau kucing-kucing apalagi TNR.

Sementara itu, di lokasi kedua, saya bertemu dengan beberapa orang yang sering memberi makan kucing-kucing di sana. Saya bertemu Mbak Dew, Mbak Yun, dan Mbak Ev. Saya sapa mereka dan saya minta nomor teleponnya untuk saya buat Whatsapp group, sehingga mudah untuk berkoordinasi.

Tantangan tersebut berupa waktu, tenaga dan tempat rawat inap (juga biaya).

Pada awalnya di lokasi kedua hanya ada empat ekor kucing yang sudah di-TNR. Lama kelamaan jumlah kucing semakin banyak kemungkinan karena orang melihat ada yang memberi makan sehingga mereka membuang kucing di sana. Saya pun melakukan TNR bersama teman-teman baru. Sebagian kucing akhirnya diadopsi dan sebagian lagi dititipkan di sebuah shelter.

Akan tetapi, bagai bom waktu, lama kelamaan jumlah kucing bertambah lagi di kedua lokasi tersebut. Saya dan teman-teman belum sempat melakukan TNR kembali. Saya merasa seperti selalu punya PR yang belum selesai. Dan saya sadar, saya tidak mampu melakukan TNR kucing-kucing di kedua lokasi sendirian.

Baca kelanjutan ceritanya si blog post berikutnya ya!